Review Film - The Half of It (2020)
Datang tanpa ekspektasi besar, tapi pulang bawa kesenangan. Itu yang aku rasain setelah nonton film ini. Dengan membawa kisah cinta segitiga yang unik dan mampu menyetir ekspektasi, The Half of It ternyata menjelma menjadi sebuah tontonan yang menyenangkan. Aku yang butuh hiburan ini ternyata sangat menyukai tiap menitnya.
The Half of It adalah film bergenre romance-comedy yang diarahkan oleh Alice Wu. Setelah baca-baca nih ternyata ini adalah film kedua beliau setelah 16 tahun lamanya nggak bikin film. Adapun film beliau yang pertama berjudul Saving Face (2004). Film ini diisi oleh cast yang pemainnya muda-muda, ada Leah Lewis, Daniel Diemer, Alexxis Lemire, Wolfgang Novogratz, dan Collin Chou.
Lewat prolog unik dan sederet kalimat-kalimat puitis, film ini dibuka dengan lucu dan segar. Ellie Chu (Leah Lewis) adalah seorang remaja imigran yang tinggal di Squahamish. Dia pendiam, cerdas, sekaligus hidupnya susah. Dia bahkan sampe bikin bisnis dari kepinterannya dengan cara ngerjain tugas temen-temen sekelasnya buat dapetin uang. Lalu datanglah Paul (Daniel Diemer) yang minta bantuan Ellie buat nulisin surat cinta ke cewek idamannya, Aster (Alexxis Lemire). Nah dari situlah kisah cinta segitiga antara tiga remaja ini dimulai.
Dari prolognya aku langsung beranggapan bahwa kekuatan film ini terletak di dialognya. Ya setengah bener setengah enggak sih, karena momen-momennya ternyata juga lucu dan gemes. Interaksi dan dialog antara Ellie dengan Paul beneran bikin senyum-senyum sendiri saking gemesnya. Banyak kata-kata puitis soal cinta di film ini. Logikanya gini nih, kalo kata-kata puitis itu eksekusinya keliru, pasti filmnya jadi serius. Tapi Alice Wu pengen filmnya tetep santai. Eksekusinya dibikin berkelas, dan kata-kata puitis tadi diolah jadi lebih easy listening.
Ngomongin cinta nih, The Half of It berhasil menggambarkan makna cinta dari tiap perspektif karakternya. Karena tokohnya masih remaja, tentu pemaknaan cinta bakal jadi lebih ruwet. Tapi berkat penyampaiannya yang enteng, hal itu jadi lebih mudah dipahami. Adegan di film ini juga ngambil pendekatan yang simpel yaitu kehidupan sehari-hari. Jadi filmnya kerasa natural dan apa adanya. Nggak banyak momen yang meledak-ledak atau nggak nalar, tapi justru hal itu yang bikin film ini terasa semakin tenang dan menyenangkan.
Bagusnya lagi adalah film ini punya karakterisasi yang kuat. Ellie, Paul, dan Aster memaknai cinta berdasarkan pribadi mereka masing-masing dan itu bikin film ini makin kaya. Aku selalu suka sama adegan yang ada Ellie dan Paul-nya. Ellie yang kutu buku ketemu Paul yang polos dan kocak. Sebagai cowok, aku juga nggak mungkin menolak karakter Aster yang pacarable, idaman banget. Disini seakan nggak ada tokoh antagonis, hanya tiga remaja dengan kisah cinta mereka yang unik. Hal itu juga bikin aku dengan mudah dirangkul dan terikat sama mereka.
Mungkin bagiku hal yang agak kurang adalah di ending. Aku suka ending-nya, suka banget. Tapi bakal lebih dapet lagi feel-nya kalo build-up nya lebih kuat dan nggak terburu-buru. Sisanya film ini keren, baik dari sinematografinya maupun dari musiknya yang ditempel dengan rapi. Sebelum ditutup, ijinkan aku buat mengutip salah satu kalimat keren yang diucapkan oleh Ellie Chu:
Love is being willing to ruin your good painting for the chance at a great one.
The Half of It adalah satu film romance-comedy yang unik. Menurutku film ini segar karena tampil beda dan bisa membelokkan ekspektasi penontonnya. Kalo aku sih suka sama film ini. Emang bagus atau karena aku lagi pengen dihibur ya? Atau malah suka karena ada Aster? Enggak, filmnya emang bagus kok.
Ada di NETFLIX