Review Film - Never Rarely Sometimes Always (2020)

by - June 19, 2020


Aku termasuk orang yang suka nonton hampir semua genre film. Namun apabila disuruh milih, aku lebih doyan sama film horror, animasi, drama hangat, atau drama dengan tema depresif dan bikin nggak nyaman. Di tahun 2020 ini aku nemu satu film dengan tema yang cukup tabu yaitu aborsi dengan nuansa yang depresif, Never Rarely Sometimes Always. Meski punya tema yang tabu namun berkat eksekusinya yang sabar, Never Rarely Sometimes Always jadi satu film tentang kemandirian perempuan dengan bumbu 
road trip yang melelahkan.

Film bergenre drama ini disutradarai dan ditulis oleh Eliza Hittman, sutradara yang juga menggarap film Beach Rats (2017). Berkat film itu pula, beliau juga sukses memenangkan nominasi Directing Award di Sundance Film Festival tahun 2017. Sedangkan di jajaran pemerannya, film ini turut dibintangi oleh Sidney Flanigan dan Talia Ryder yang uniknya, ini adalah film debut mereka berdua.

Autumn (Sidney Flanigan) adalah cewek berusia 17 tahun yang udah dapet satu tantangan berat di hidupnya. Setelah dia periksa ke klinik, dia mendapati dirinya sedang hamil muda. Udah ditimpa masalah hamil diluar nikah, masih ditambah masyarakatnya yang masih konservatif dan seksis. Tentu hal ini membuat Autumn memilih diam dan nggak cerita ke siapapun termasuk orang tuanya.


Setelah kelar nonton, aku bisa menyimpulkan film ini hanya dengan satu kata, unsettling. Bener-bener sepanjang durasi dibikin resah gelisah tidak nyaman. Aku bisa ikut merasakan apa yang dirasain sama Autumn. Perempuan yang punya sesuatu untuk diceritakan, butuh dukungan, namun keadaan nggak memungkinkan. Hittman memilih untuk tetap sabar dan tenang dalam membangun ceritanya dan kadang kali menyisipkan adegan-adegan yang "mengganggu" seperti gambaran betapa brengseknya laki-laki membuat film ini kaya akan rasa.

Banyak isu yang diangkat disini seperti feminisme, patriarki, ataupun yang paling kental adalah kemandirian. Perempuan benar-benar digambarkan sebagai sosok kuat dan sangat mandiri, sedangkan laki-laki digambarkan sebagai sosok yang brengsek. Ya meskipun rasanya agak keterlaluan namun nyatanya saat melihat penuturan motifnya, penonton akan memihak pada kaum hawa. Lewat karakter Autumn dan Skylar, kita juga diajak berjuang untuk menentukan pilihan hidup. This is me and this is my life.



Film ini memang minim konflik yang meledak-ledak, namun sangat baik dalam hal penuturan rasa. Rasanya itu tenang bak ditengah lautan, tapi kalo udah nyemplung ya dalem banget. Kamera yang sering menangkap adegan detil seperti close-up wajah karakter yang sedang senyum atau melamun, bikin film ini makin terasa emosinya. Hal itu berdampak pada penonton yang pasti akan bersimpati pada Autumn. Ada satu momen paling penting bareng konselor yang ngeliatin mimik wajah pake teknik long-take itu beneran nyesss kerasa banget di dada.

Performa Sidney Flanigan dan Talia Ryder beneran solid! Aku suka banget dan kaget aja karena mereka aktris debutan. Flanigan bisa meyakinkan penonton kalo karakter Autumn itu butuh banget support, sedangkan Ryder bisa membawa karakter Skylar menjadi satu sosok saudari yang loveable. Karena mengangkat cerita aborsi yang masih tabu di kalangan masyarakat, aku pikir Hittman mengambil langkah penuh resiko. Namun berkat kuatnya cerita dan performa solid dua aktrisnya, aborsi menjadi satu hal yang nggak bisa dinilai secara sepihak namun patut untuk dilihat dari dua sisi yang berbeda.


Never Rarely Sometimes Always adalah satu film penting yang bisa didiskusikan bareng temen-temen. Meskipun penuturannya terkesan lambat dan tenang, namun film ini punya banyak rasa dan terkadang relate dengan kehidupan sehari-hari. Mungkin bisa menyadarkanmu tentang budaya patriarki? Atau mungkin bisa menyadarkanmu kalo temen bahkan saudaramu pada saat ini lagi butuh bantuan?